Semburan Dusta

Semburan Dusta
©VOA

Nalar Warga – Pernah kuingatkan 2019, cara semburan dusta adalah berulang-ulang menyerang/melecehkan dan minta maaf. Targetnya? (1) Menyerang berulang-ulang untuk mengurung objek-objek kebencian; (2) Minta maaf untuk lari dari tanggung jawab. Objek kebenciannya sudah kita kenali.

Karena objek-objek kebencian sudah kita kenali, maka akan muncul penyerang-penyerang baru yang bekerja dengan cara yang sama. Objek kebencian kian rentan jadi sasaran serangan sehingga jatuh nilai sosialnya.

Pelaku-pelakunya? Bebas dong (kan sudah minta maaf dengan materai). Begitu cara main mereka.

Semburan dusta adalah salah satu bentuk perang gerilya psikologis di era media sosial. Hanya terjadi dalam kondisi: (1) Tiap orang punya akses medsos; (2) Negara hukum dengan penyelesaian di luar pengadilan; (3) Ideologi mayoritarianisme (mayoritas itu istimewa).

Mayoritarianisme bukan berdasar mayoritas dalam sistem politik liberal (berdasar voting) atau mayoritas dalam sistem kapitalisme (buruh dan petani menengah ke bawah), tapi mayoritas dalam kerangka primordial, baik karena asuhan (agama) atau keturunan (ras).

Mayoritarianisme ini paling ramah mengakomodasi otak manusia yang paling primitif untuk survive dan curiga pada yang beda. Mereka memanfaatkan demokrasi untuk membawa aspirasi-aspirasi pra-demokrasi dan pra-kapitalisme industri, yakni dari era pertanian menetap (feodal atau perbudakan).

Karena itu, perilaku mereka di lapangan atau media sosial mirip perilaku orang berebut tanah. Tanah dan simbol-simbol agama itu sama-sama magis dalam kesadaran mereka. Pun relasi kuasa antarmanusia yang TAK setara mereka anggap magis: pemilik budak/tanah dengan budak/tani penggarap.

Mereka menafsrikan slogan “Bumi milik Allah” secara kasar bahwa di bmi hanya boleh ada satu Tuan, tak boleh ada Tuan-Tuan lain. Cara manusia melihat kuasa itu seperti saat mereka melihat Tuhan, Tuan Tanah, dan pria kepala keluarga (kepala unit dasar hak milik pribadi).

Baca juga:

Saat ideologi mayoritarianisme ini bertemu buah-buah revolusi industri dan revolusi demokrasi, mereka akan meneruskan spirit ekspansi penguasaan tanah. Lihatlah konflik-konflik agama ribuan tahun yang gak selesai-selesai itu sumbernya TANAH & TUHAN yang boleh ada di tanah itu.

Pertanyaan menggelitiknya: saat media sosial terus berevolusi hingga sekarang berbasis ruang (Metasemesta atau Metaverse), apa konsep ruang tanah digital juga akan mereka invasi seperti mereka menginvasi tanah analog? Apa cuma boleh ada satu Tuhan di Metasemesta?

Apa di Metasemesta yang terbit sosialnya berbasis blockchain (demokratisasi data untuk mendeteksi dusta) dan NFT (penghargaan pada keunikan manusia dan barang yang artinya penghargaan pada keanekaragaman) masih ada semburan dusta untuk menyeragamkan manusia?

Kita lihat saja.

*Budiman Sudjatmiko

Warganet
Latest posts by Warganet (see all)