Di tengah perdebatan yang mengemuka tentang populisme, khususnya di Eropa dan banyak negara lainnya, terbentang fenomena yang menarik untuk diulik lebih dalam: sesat pikir populisme reaksioner. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan ketidakpuasan terhadap sistem yang ada, tetapi juga menggarisbawahi ketidakpastian zaman, rasa kehilangan identitas, dan meningkatnya ketidakadilan sosial. Dalam tulisan ini, kita akan menguraikan berbagai dimensi yang merangkai fenomena populisme reaksioner, serta menyelidiki alasan mengapa banyak orang terpesona untuk terjerumus ke dalam arus ini.
Populisme reaksioner dapat dipahami sebagai suatu bentuk pergerakan politik yang mengedepankan suara rakyat, tetapi sering kali dengan pendekatan yang menggali kembali nilai-nilai tradisional atau pragmatis, sehingga tidak jarang mengesampingkan alasan logis dan bukti empiris. Hal ini berbeda dengan populisme progresif yang cenderung mendorong perubahan ke arah yang lebih inklusif dan egaliter. Di sini, muncul pertanyaan menarik: mengapa banyak individu merasa terombang-ambing dan beralih ke populisme reaksioner, meskipun berbagai bukti menunjukkan bahwa jalan ini kerap kali tidak menguntungkan?
Salah satu motif utama di balik daya tarik populisme reaksioner adalah ketidakpuasan mendalam terhadap elit politik dan institusi yang ada. Rasa frustrasi ini sering kali berakar dari kekecewaan atas janji-janji yang tidak ditepati. Dalam konteks ini, elit dianggap tidak mampu memahami atau menangani permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat biasa. Ketika suara rakyat seolah tertutup, apalagi jika dihadapkan pada isu-isu sensitif seperti ekonomi, lingkungan hidup, dan keamanan, maka individu akan cenderung mencari alternatif yang menjanjikan solusi instan, meskipun solusi tersebut sering kali tidak rasional.
Lebih lanjut, dapat dikatakan bahwa sebuah kekuatan psikologis berperan signifikan dalam menggerakkan populisme reaksioner—yaitu kebutuhan untuk memiliki identitas yang jelas. Di era globalisasi yang terus berkembang ini, banyak individu merasa terancam oleh kehilangan budaya lokal dan nilai-nilai tradisional. Dalam konteks ini, sebuah identitas yang terkompresi oleh modernisasi dan multipolaritas sering kali membuat seseorang merasa tidak memiliki tempat yang pasti dalam masyarakat. Populisme reaksioner hadir sebagai tawaran untuk kembali menemukan identitas itu, meskipun hal ini terkadang berujung pada eksklusi kelompok tertentu.
Melihat dari perspektif sosial, populisme reaksioner juga sering kali diasosiasikan dengan pola komunikasi yang lebih sederhana dan emosional. Dalam kondisi di mana kompleksitas isu-isu politik dan sosial semakin meningkat, banyak individu mencari narasi yang lugas, mudah dipahami, serta menarik secara emosional. Politisi yang mengusung populisme reaksioner sering kali jago dalam memanfaatkan retorika sederhana yang mampu memenuhi kebutuhan emosional masyarakat, seperti rasa aman, kebanggaan nasional, dan pencarian sesuatu yang lebih strategis dalam menghadapi isu krusial.
Ironisnya, meskipun pendekatan populis ini tampak memberikan suara kepada orang-orang yang merasa terpinggirkan, sering kali praktiknya justru memperkuat sentimen negatif terhadap kelompok minoritas. Ini adalah salah satu implikasi paling mencolok dari populisme reaksioner: tindakan eksklusi berbasis ras, etnis, dan agama sering kali menjadi konsekuensi yang tidak terhindarkan. Dalam hal ini, populisme reaksioner berpotensi menciptakan ketegangan sosial yang merugikan keutuhan dan harmoni dalam masyarakat.
Ketika berbicara mengenai bagaimana populisme reaksioner mempengaruhi dinamika politik, kita tidak dapat mengabaikan kemampuan fenomena ini untuk mempolarisasi masyarakat. Di permukaan, populisme mungkin mengklaim berbicara atas nama ‘rakyat,’ tetapi pada kenyataannya, ia sering kali membentuk dua kubu yang berlawanan: mereka yang mendukung populisme dan mereka yang menolak. Polaritas ini semakin menciptakan bentrokan sosial yang berpotensi merusak paduan sosial yang telah lama terjaga dalam kesepahaman.
Namun, di balik fenomena ini, ada ruang untuk refleksi. Masyarakat perlu melakukan introspeksi tentang bagaimana kondisi sosial, ekonomi, dan politik dibentuk. Misalnya, bagaimana kebijakan yang dicetuskan oleh elit dapat membuat masyarakat merasa terputus dari proses pengambilan keputusan? Atau, bagaimana reformasi yang menjanjikan keadilan ekonomi sering terlambat atau tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat?
Dalam konteks ini, penting untuk diingat bahwa tantangan untuk melawan populisme reaksioner bukanlah dengan mengabaikan suara mereka yang merasa terabaikan. Sebaliknya, dialog yang konstruktif dan inklusif harus dibangun dengan menciptakan ruang bagi mereka untuk berbicara, sambil tetap menyajikan argumen yang rasional dan berdasarkan bukti. Keterbukaan untuk mendengarkan, tanpa kehilangan kendali pada logika dan fakta, diperlukan untuk memperbaiki situasi ini.
Akhirnya, kesadaran bahwa populisme reaksioner bukanlah solusi yang berkelanjutan sangatlah penting. Saat masyarakat merenung dan berupaya menyatukan kembali nilai-nilai yang memperkuat satu sama lain, penting untuk menciptakan sebuah narasi yang lebih inklusif, penuh empati, dan berbasis pada keadilan sosial. Tanggung jawab ada pada kita, sebagai individu, untuk berpikir kritis dan tidak terjebak dalam siklus sesat pikir yang ditawarkan oleh populisme reaksioner. Kita perlu menemukan jalur baru yang mampu membawa kita ke arah yang lebih baik, tanpa harus mengorbankan keragaman dan kompleksitas yang melekat dalam tatanan masyarakat.






