Setara Sejak 2019 Negara Jadi Aktor Dominan Pelanggaran Kebebasan Beragama
Di era modern saat ini, kebebasan beragama seharusnya menjadi salah satu pilar utama dari masyarakat yang demokratis. Namun, di Indonesia, kebebasan ini seringkali tercederai. Sejak tahun 2019, pemerintahan Indonesia tampaknya bertransformasi menjadi aktor yang lebih dominan dalam pelanggaran kebebasan beragama. Apakah ini sebuah tanda bahwa negara berusaha untuk mengontrol cara orang beribadah, ataukah ini sekadar sebuah fenomena sementara dalam perjalanan politik bangsa?
Untuk memahami apakah pelanggaran tersebut benar-benar sistemik, kita perlu melihat evolusi kebijakan pemerintah dan bagaimana mereka berinteraksi dengan masyarakat. Sejak diterbitkannya berbagai peraturan dan kebijakan yang lebih ketat terhadap organisasi keagamaan, kita menyaksikan pengekangan yang cukup signifikan. Kebijakan apa saja yang dimaksud, dan bagaimana dampaknya terhadap kebebasan beragama di tanah air?
Langkah pertama dalam pembahasan ini adalah mengeksplorasi kebijakan yang mula-mula diperkenalkan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, misalnya, menjadi payung hukum bagi tindakan represif terhadap praktik-praktik agama yang dianggap menyimpang. Meskipun undang-undang ini telah ada cukup lama, penegakan yang lebih ketat mulai terlihat pasca 2019, seiring dengan meningkatnya polaritas sosial dan permintaan publik untuk memperkuat ideologi mayoritas.
Pemerintah, melalui instansi-instansi terkait, mulai lebih aktif dalam mencegah munculnya aliran-aliran yang dianggap “tidak sejalan” dengan norma dan agama resmi. Hal ini berimplikasi pada pembubaran tempat ibadah, penangkapan tokoh agama, dan pendiskreditan terhadap agama-agama minoritas. Dalam pandangan negara, tindakan ini dianggap sebagai “keberanian” untuk menjaga stabilitas dan harmoni sosial, namun bagi banyak orang, ini adalah pelanggaran nyata terhadap hak asasi manusia.
Konsekuensi dari kebijakan ini tak terhindarkan—baru-baru ini, kita bisa melihat bagaimana tindakan represif ini menyebabkan ketegangan antaragama semakin membara. Aksi-aksi massa, demonstrasi, dan kecaman internasional menjadi hal lumrah. Apakah ini mencerminkan ketidakpuasan rakyat terhadap dominasi pemerintah? Ataukah ini justru menandakan bahwa masyarakat semakin kesulitan menerima keberagaman?
Satu hal yang cukup mengejutkan adalah adanya dukungan terhadap kebijakan-kebijakan dengan tujuan untuk membatasi kebebasan beragama ini, berasal dari kelompok-kelompok masyarakat yang sebelumnya mendukung pluralisme. Mereka menganggap bahwa pembatasan diperlukan untuk melindungi “nikmat” dari agama mayoritas. Akankah ini menciptakan jurang yang lebih dalam antara kelompok mayoritas dan minoritas?
Dengan bertambahnya laporan pelanggaran kebebasan beragama, tampaknya media sosial memainkan peran kunci dalam menyebarluaskan informasi. Platform-platform ini memberikan suara bagi yang terpinggirkan dan memfasilitasi dialog yang kritis. Namun, tantangan juga muncul dalam bentuk penyebaran disinformasi, yang dapat memperkeruh situasi. Akankah kita dapat memisahkan informasi yang valid dari propaganda yang menyesatkan?
Penting untuk menggali lebih dalam tentang bagaimana pendidikan berperan dalam membentuk pemikiran masyarakat tentang pluralisme agama. Apakah kurikulum pendidikan saat ini mendorong toleransi antaragama atau justru memperkuat sikap eksklusivisme? Adalah suatu tantangan bagi pemangku kebijakan untuk mereformasi sistem pendidikan sehingga dapat menghasilkan generasi yang lebih toleran dan menerima perbedaan.
Peran masyarakat sipil juga tidak kalah penting. Organisasi-organisasi non-pemerintah seringkali menjadi suara kritis yang menyuarakan aspirasi kaum minoritas. Mereka mengadvokasi perubahan kebijakan dan melakukan kampanye kesadaran untuk menegakkan hak-hak kebebasan beragama. Namun, dengan meningkatnya tindakan represif pemerintah, apakah mereka akan cukup bertahan untuk memperjuangkan hak asasi manusia? Ini adalah tantangan yang nyata bagi semua pihak yang peduli terhadap nasib kebebasan beragama di Tanah Air.
Akhirnya, tantangan terbesar mungkin terletak pada bagaimana masyarakat dapat bersatu tanpa mengabaikan sejarah dan trauma masing-masing. Sejarah panjang konflik antaragama di Indonesia harus menjadi pengingat bahwa kebangkitan semangat intoleransi tidak boleh dibiarkan tumbuh subur. Jika tidak, kita mungkin akan menemukan diri kita kembali ke zaman kegelapan yang kita pikir telah kita tinggalkan.
Kesimpulannya, situasi kebebasan beragama di Indonesia menuntut perhatian serius. Negara sebagai aktor dominan dalam pelanggaran ini harus diingatkan bahwa keberagaman adalah kekuatan, bukan ancaman. Dengan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan individu, kita masih memiliki peluang untuk mengubah narasi ini. Bagaimana kita bisa mewujudkan perubahan positif tersebut dengan adanya tantangan yang terus bermunculan? Inilah pertanyaan penting yang harus kita bawa bersama dalam perjalanan menuju masyarakat yang lebih harmonis.






