Soeharto Adalah Simbol Korupsi Kolusi Dan Nepotisme

Dwi Septiana Alhinduan

Soeharto, yang dikenal sebagai presiden kedua Republik Indonesia, adalah figur yang kontroversial dalam sejarah politik tanah air. Lamanya ia berkuasa selama lebih dari 30 tahun meninggalkan jejak yang mendalam, baik positif maupun negatif. Namun, penting untuk menyoroti bagaimana Soeharto menjadi simbol korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang telah mencoreng reputasi pemerintahannya.

Dalam perjalanan politik Soeharto, banyak kalangan mengamati bahwa kekuasaan yang ia pegang sering kali disalahgunakan. Korupsi, dalam berbagai bentuk, menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem yang ia bangun. Satu contoh mencolok adalah praktik suap-menyuap yang sistematis, di mana kekuasaan eksekutif berkolusi dengan para pengusaha untuk memperkuat kepentingan masing-masing. Hal ini secara jelas menunjukkan bahwa etika dan integritas sering kali ditanggalkan demi mengisi kantong pribadi.

Kita tak bisa mengabaikan bahwa di bawah pemerintahan Soeharto, terjadi peningkatan tajam dalam penguasaan sumber daya alam oleh segelintir orang. Banyak dari mereka adalah sahabat dekatnya atau anggota keluarganya. Nepotisme, yang menjadi bagian dari kepemimpinannya, memunculkan pertanyaan tentang keadilan sosial. Keberpihakan terhadap kerabat dan orang-orang tertentu dalam mendapatkan proyek pemerintah menciptakan dominasi oligarki yang merugikan masyarakat luas. Sangat ironis, mereka yang seharusnya berada di posisi untuk mengatur dan melindungi kepentingan rakyat justru lebih mementingkan kepentingan pribadi.

Lebih jauh lagi, korupsi telah mengakibatkan kebijakan publik yang pro-kepentingan tertentu. Dalam banyak kasus, kebijakan yang seharusnya ditujukan untuk kemajuan bangsa, secara nyata lebih menguntungkan pengusaha terdekat Soeharto. Misalnya, izin tambang dan proyek infrastruktur sering kali diberikan kepada perusahaan milik rekan-rekannya, melewatkan proses transparansi yang seharusnya ada. Ini menciptakan persepsi bahwa keberhasilan ekonomi yang dicapai selama era Orde Baru belum tentu mencerminkan kemakmuran yang merata, melainkan hasil dari praktik-praktik yang sangat meragukan.

Penting untuk digarisbawahi adalah dampak psikologis dari tindakan-tindakan ini. Masyarakat Indonesia, terutama mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan, merasakan ketidakadilan dan kekecewaan yang mendalam. Ketidakpuasan ini menjadi benih bagi kesadaran politik yang lebih besar pasca-reformasi. Masyarakat mulai mempertanyakan legitimasi kekuasaan dan perlunya reformasi yang lebih mendalam terhadap sistem politik dan ekonomi. Rasa curiga terhadap pemerintah dan elit politik pun semakin menguat.

Menariknya, meskipun Soeharto sering kali dikaitkan dengan sisi gelap kebijakannya, ada pula sisi positif yang tidak bisa diabaikan. Di bawah kepemimpinannya, Indonesia mengalami stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat. Namun, pertumbuhan tersebut pada akhirnya lebih bersifat sementara, terbukti dengan krisis ekonomi yang melanda di akhir 1990-an. Penurunan harga minyak dan ketidakmampuan untuk mengatasi hutang luar negeri menguji ketahanan ekonomi yang selama ini dibangun dalam kerangka koruptif.

Dari sudut pandang sosiologis, ketertarikan masyarakat terhadap figur Soeharto tidak bisa dilepaskan dari kompleksitas psikologis. Banyak yang merasa terikat dengan narasi heroik yang dibangun oleh pemerintah Orde Baru, di saat yang sama mereka juga mengenali kebobrokan yang ada. Jatah pembangunan, program-program sosial, dan fasilitas infrastruktur menyesuaikan dengan citra positif yang coba dipelihara. Meski hanya kebaikan yang bersifat sementara, pengaruhnya tetap terasa dalam memengaruhi persepsi rakyat.

Hal ini menimbulkan ambivalensi. Di satu pihak, ada nostalgia untuk stabilitas, di lain pihak, ada kemarahan atas banyaknya praktik korupsi yang terjadi. Banyak yang berpendapat bahwa reformasi yang terjadi setelah kejatuhannya belum sepenuhnya menghapus warisan negatif tersebut. Kecenderungan untuk mengulangi kesalahan yang sama sering kali muncul, dan ini merupakan tantangan besar bagi generasi mendatang dalam mewarisi kekuasaan.

Secara keseluruhan, Soeharto menjadi simbol korupsi, kolusi, dan nepotisme bukan hanya karena tindakan-tindakan yang ia ambil, tetapi karena dampak jangka panjang yang ditinggalkannya. Kesadaran akan praktik semacam ini menandakan betapa pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan. Hanya dengan mengakui sejarah kelam ini, Indonesia bisa melangkah dengan lebih baik ke arah pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan. Pada akhirnya, menggali lebih dalam ke dalam narasi Soeharto membantu memahami banyak aspek dari dinamika kekuasaan dan pengaruh yang terus membayangi politik Indonesia saat ini.

Related Post

Leave a Comment