
Ada sepasang wayang saling jatuh cinta
Dan seorang wayang cintanya jatuh berkeping-keping
Pecah di antara sunyi, melekat di lubuk hati
Ia sendiri, meringkuk di tengah gelap. Tanpa lentera sama sekali
Cinta yang indah adalah cinta tanpa keterikatan
Seperti matahari adalah aku
Dan kau adalah rembulan
Seperti aku yang mencintai kau
Tanpa harus menuntut kau mencintai diriku
Kata Plato, berbisik di gendang telingaku
Wayang itu mendongak ke arah rembulan,
Menyeka air mata dengan tangannya
Mencoba menaikkan sudut bibir, tersenyum walau air mata masih menjalar deras
Biarkan aku mencintaimu dalam diam
Karena dalam diam aku bisa menyaringkan suara lebih dalam
Biarkan aku memelukmu dalam angin
Karena dalam angin tidak ada yang memelukmu selain aku
Kata Rumi, berdesis di lubuk batinku
Ia tersenyum, oh…
Aku pun bangkit, dengan sisa-sisa tenagaku
Mengumpulkan seluruh rindu, kubawa ragaku untuk bersimpuh
Kugelar sajadah lusuh, menitipkan segala rasa untuk pasrah…
Kau cintaku, da-ta-ng-lah!
Wayang itu kembali menangis,
Ha-ru!
Pencarian
Sudah hampir jam sebelas malam
Aku masih terhenyak, tenggelam dalam diam
Bias puisi yang kurindukan tak bermunculan dalam angan-angan
Di antara larik-larik cerita yang tertulis
Ada sedikit saja yang kucerna
Dan tak mampu kurangkai menjadi diksi
Ruangan yang pengap, berteman kipas angin lama yang berderit
Sudah pukul sebelas malam
Ketikan ini masih belum sampai
Mengundang gundah yang berkepanjangan
Gejolak kepala seakan menyanggupi
Untuk melahirkan beberapa larik puisi
Tapi, ternyata masih sama
Miskin literasi
Perenungan
Aku pulang
Tanpa berpelukan dengan syair
Menyergah segala peraduan
Aku sungguh merindukan
Puisiku sendiri
Titik Temu
Kita adalah cinta
Cinta adalah pantulan cahaya-Mu
Alunan gendangmu
Petikan gitarmu
Suara petirmu
Biasan kilatmu
Semuanya adalah aku
Aku yang Kau Mu
Hilang
Puisi-Mu, Puisiku
Mari kita berpuisi, memainkan intuisi
Menari, syahdu
- Manusia dan Manajemen Pembebasan - 6 Maret 2022
- Cinta; Rating 1 Peradaban Manusia - 6 Maret 2022
- Sukma dalam Cinta - 15 November 2021