Sunlie Thomas Alexander Bongkar Kemiskinan Nalar Muhammad Subhan

Sunlie Thomas Alexander Bongkar Kemiskinan Nalar Muhammad Subhan
Muhammad Subhan & Sunlie Thomas Alexander

Nalar Politik – Sunlie Thomas Alexander, kritikus sastra kelahiran Bangka Belitung, menanggapi esai Muhammad Subhan, Bersihkan Sastra Indonesia dari Politik Caci Maki.[1] Esai tersebut, menurutnya, patut ia respons, sebab memuat kemiskinan nalar dan pengetahuan, juga tendensius.

“Saya akan coba tanggapi dengan semacam metode close-reading[2] atau komentar langsung atas apa yang ia (Subhan) tulis,” terang Sunlie dalam Bersihkan Sastra Indonesia dari Para Penipu Munafik Bertopeng (Pseudo-) Kesantunan!.

Metode close-reading¸ sebagaimana pernah digunakan Saut Situmorang dalam mempreteli kepalsuan kritik sastra Narudin Pituin[3], dinilai Sunlie cukup efektif membongkar kelemahan argumentasi Subhan. Metode ini sekaligus jadi senjata Sunlie melawan kepicikan cara berpikir Subhan dalam teks esai yang baginya dipenuhi jargon pseudo moral dan religius.

“Saya tidak akan menanggapi seluruh esai Muhammad Subhan, tetapi hanya menanggapi paragraf-paragraf yang saya anggap perlu untuk ditanggapi saja, terutama dalam hal ini pernyataan-pernyataannya yang menurut saya terlalu goblok, sok tahu, tapi keliru besar dan membahayakan masyarakat awam.”

Berikut ini komentar langsung Sunlie Thomas Alexander atas sejumlah paragraf tulisan Muhammad Subhan yang sebelumnya termuat di gatholoco.com:

Subhan:

Perbedaan pendapat adalah rahmat. Tapi ungkapan itu tidak sepenuhnya benar, sebab tidak terjadi di ranah kesusastraan Indonesia modern hari ini di mana internet menjadi salah satu medium penyampai pesan.

Sunlie:

Memangnya siapa yang menolak perbedaan? Yang kami tolak adalah manipulasi sejarah sastra Indonesia yang dilakukan si Togog Denny J.A. (DJA) dengan menggunakan kekuatan uang (baca: main duit!). Ini sudah jelas, jadi jangan memfitnah!

Kalau si Togog itu mau menulis puisi dengan gaya dan konsepnya sendiri, ya silakan saja, itu urusannya. Memangnya siapa yang berhak melarang?

Yang jadi masalah bagi kami adalah ia telah mencoba menipu khalayak sastra (berbahasa) Indonesia dengan klaim megalomaniak-delusif bahwa puisi esai merupakan sebuah genre baru dalam sastra—hasil penemuannya. Sehingga dengan demikian, ia pun layak menjadi salah satu pembaru perpuisian Indonesia sekaligus salah satu tokoh sastra Indonesia yang paling berpengaruh!

Klaim ambisius ini, berikut penerbitan buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014) yang ia danai dan Program Penulisan Buku Puisi Esai Nasional di 34 Provinsi seluruh Indonesia belakangan, tak lain hanyalah untuk mengultuskan dirinya sebagai tokoh sastra berpengaruh yang ia impikan.

Padahal—sebagaimana telah diuraikan secara terang-benderang dalam poin-poin “Petisi Menolak Program Penulisan Buku Puisi Esai Nasional Denny J.A.”—puisi esai sebagai komposisi ekspositori dalam bentuk puisi sudah dikenal sejak masa Alexander Pope, penyair Inggris Abad ke-18, melalui buku puisinya, “An Essay on Man” [4] dan apa yang disebut puisi esai oleh DJA sebagai hasil penemuannya itu hanyalah sejenis puisi naratif dengan kecenderungan seperti Esai Lirik (Lyric Essay).[5]

Internet, terutama dalam hal ini media sosial, hanyalah salah satu media perlawanan bagi para penulis dan pencinta sastra yang waras dan punya harga diri, tidak mau melacurkan diri kepada Denny J.A.

Subhan:

Perbedaan pendapat di era media sosial, khususnya Facebook dan WhatsApp yang dilakoni akun-akun segelintir sastrawan Indonesia, telah dikotori ketidakdewasaan berpikir, bersikap, dan berkata-kata. Bertolak belakang dengan keahlian yang ditekuni; menulis karya sastra.

Sunlie:

Apa yang diungkapkan oleh Muhammad Subhan ini ibarat “maling teriak maling”. Bukankah, selain dikotori oleh si Togog DJA lewat “politik duit” dengan tujuan pengultusan dirinya, dunia sastra (berbahasa) Indonesia justru juga telah dikotori oleh para penjilat munafik seperti Muhammad Subhan ini dan sekian banyak nama lainnya yang dengan ikhlas membenarkan “politik duit” si Togog demi duit (dan popularitas) semata? Tulisan Subhan ini sendiri, bagi saya, merupakan sebuah contoh konkret atas hal tersebut.

Subhan:

Sejatinya, sastrawan sebagai ahli sastra, yang terlatih mengolah kata yang bukan bahasa sehari-sehari—bukan bahasa pasaran tanpa saringan—adalah anutan yang patut diteladani. Teladan, bukan saja merujuk pada keindahan tutur gaya bahasa yang ditulisnya, mutu karya itu, tetapi juga pada kesantunan dalam menimbang setiap persoalan yang tengah terjadi.

Sunlie:

Hahaha! Ini lugu dan lucu sekali. Lihatlah betapa ceteknya pengetahuan sastra si Muhammad Subhan ini, baik dari sisi ilmu/teori sastra maupun dari sejarah kesusastraan.

Bukannya justru lantaran sastrawan adalah seorang ahli sastra, maka mereka seyogianya tahu betul dalam konteks seperti apa seorang narator maupun para karakter dalam karya-karyanya mesti berkata-kata dengan sopan dan dalam konteks apa pula harus menggunakan kata-kata yang kasar atau caci maki/umpatan?

Ah, saya kira “ceracau lugu tapi sok tahu” si Subhan ini telah dijawab dengan cukup telak oleh penyair Blitar, Malkan Junaidi di status Facebook-nya (26 Januari 2018). Silakan simak kutipan saya di bawah ini:

Jargon Sastra Santun adalah jargon kosong. Sastra adalah soal ketepatan: ketepatan pemilihan kata, ketepatan aransemen, ketepatan argumen, ketepatan karakterisasi.

Jika sebuah karakter, misalnya, membutuhkan pisuhan untuk mengungkapkan perasaannya, penulis harus memberikannya. Dan dia tak boleh asal memberikan, melainkan secara tepat berdasarkan pertimbangan budaya

(apakah karakter berlatar kehidupan Medan atau Surabaya), profesi (apakah karakter bekerja di lingkungan dengan tingkat stress tinggi atau rendah), dan intensitas konflik (apakah karakter sekadar sebal atau sangat marah).

Jika penulis karena pertimbangan ‘sastra santun’ menghindari kata-kata kotor, sarkastis, tabu, dan sebagainya, maka bisa-bisa karakter yang diciptakannya seragam, tak bertekstur, dan tak polifoni. Ini tentu berlawanan dengan makna kreativitas.[6]

Saya tidak tahu apakah Muhammad Subhan sendiri pernah menulis cerpen, novel, puisi, atau naskah drama, dan seperti apa karya-karyanya tersebut. Tetapi pertanyaan saya kemudian adalah: Apakah Anda bisa membayangkan karakter seorang preman menodongkan pisau kepada korbannya sambil meminta uang dengan kata-kata santun penuh kesopanan seperti, “Maaf Bu, apakah Ibu bisa memberikan semua uang di dompet Ibu kepada saya? Karena saat ini saya sedang membutuhkan uang untuk membeli minum keras.”(?)

Atau, bisakah Anda menerima sebuah dialog percekcokan yang berujung perkelahiran antara dua tokoh penuh dendam kesumat tanpa adanya kata-kata makian?

Masuk akal logis nggak kira-kira apabila seorang yang baru saja ditabrak sepeda motor di atas trotoar “berteriak” kepada pengendara yang menabraknya dengan kata-kata sopan?

Halaman selanjutnya >>>