Tak Ikut Aksi Tolak Uu Ciptaker Muhammadiyah Lebih Banyak Mudaratnya

Dwi Septiana Alhinduan

Dalam konteks dinamika politik Indonesia, Aksi Tolak Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) menjadi sorotan utama. Beberapa organisasi massa, termasuk Muhammadiyah, memilih untuk tidak berpartisipasi dalam aksi tersebut. Namun, keputusan ini menimbulkan berbagai pertanyaan mengenai dampak yang mungkin muncul. Berikut adalah panduan yang mendalami potensi mudarat yang lebih besar dari keputusan tersebut.

Pertama, perlu dicermati bahwa ketidakikutsertaan Muhammadiyah dalam aksi tolak UU Ciptaker dapat dilihat dari perspektif kebangkitan suara rakyat. Lembaga ini, yang memiliki pengaruh luas di kalangan masyarakat, seharusnya menjadi jembatan antara aspirasi rakyat dan keputusan politik. Dengan tidak turut serta, Muhammadiyah berisiko kehilangan relevansi dan konektivitasnya dengan masyarakat yang merasa terpinggirkan oleh kebijakan pemerintah.

Kedua, Muhammadiyah adalah organisasi yang dikenal akan komitmennya terhadap keadilan sosial. Namun, ketidakhadiran dalam aksi tersebut bisa dianggap sebagai bentuk pembiaran terhadap kebijakan yang dirasa merugikan kaum pekerja dan penggiat usaha mikro. Hal ini dapat berakibat negatif, yaitu kehilangan dukungan dari anggota yang mendambakan kepemimpinan yang lebih aktif dalam memperjuangkan nasib mereka.

Mempertimbangkan sudut pandang sebagai organisasi sosial, keterlibatan dalam aksi protes bisa menjadi cara untuk menegaskan posisi dalam isu-isu penting. Dengan tidak ikut serta, Muhammadiyah berpotensi memberikan ruang bagi suara lain untuk mendominasi narasi dan mempengaruhi persepsi publik. Tindakan ini dapat menciptakan kesan bahwa organisasi tersebut apatis terhadap isu-isu yang krusial bagi masyarakat.

Lebih lanjut, ada kekhawatiran bahwa ketidakikutsertaan ini dapat memberikan sinyal yang keliru kepada pihak-pihak tertentu. Ketiadaan Muhammadiyah dalam aksi tolak ini bisa ditafsirkan sebagai dukungan implisit terhadap kebijakan pemerintah. Padahal, kebijakan yang ditetapkan seringkali bersifat kontroversial dan berpotensi menggerus hak-hak pekerja. Ini membawa implikasi yang lebih besar: masyarakat dapat kehilangan keyakinan terhadap Muhammadiyah sebagai penyangga moral dan etika dalam ranah publik.

Di sisi lain, mari kita pertimbangkan konsekuensi jangka panjang dari keputusan ini terhadap pencitraan Muhammadiyah. Dalam era di mana transparansi dan akuntabilitas menjadi tuntutan masyarakat, keterlibatan dalam gerakan sosial menjadi penting. Melalui kehadiran dalam aksi, Muhammadiyah dapat menunjukkan komitmennya untuk mendengarkan aspirasi masyarakat sekaligus memperkuat legitimasi di mata publik.

Sementara itu, respons masyarakat terhadap keputusan Muhammadiyah untuk tidak berpartisipasi juga cukup beragam. Ada yang menilai sebagai langkah strategis yang bijak, dan ada pula yang mengecamnya sebagai tindakan melawan semangat kolektif. Pendapat yang berbeda ini menunjukkan bahwa Muhammadiyah perlu merangkul debat dan diskusi internal yang sehat. Hasil dari pembicaraan ini bisa jadi pijakan untuk menentukan arah ke depan yang lebih responsif terhadap tantangan zaman.

Selanjutnya, dalam konteks interaksi sosial, ketidakikutsertaan ini bisa menyebabkan friksi di dalam organisasi Muhammadiyah itu sendiri. Dengan berp selisih paham di kalangan anggota, ada kemungkinan terjadinya polarisasi yang dapat menimbulkan perpecahan. Kenyataannya, ketika masyarakat dihadapkan pada sebuah isu, solidaritas dalam organisasi sangatlah penting. Tanpa ada suara dari pemimpin, anggota mungkin merasa kehilangan arah dan dukungan.

Muhammadiyah, sebagai salah satu organisasi sosial terbesar di Indonesia, memiliki tanggung jawab untuk mengedukasi dan menggerakkan anggotanya mengenai isu-isu yang penting. Dengan mengambil sikap yang pasif, ada kekhawatiran bahwa banyak anggota yang tidak mendapatkan wawasan yang cukup mengenai risiko yang terdapat dalam UU Ciptaker. Selain itu, ini dapat mengurangi partisipasi anggota dalam advokasi dan pengambilan keputusan yang berhubungan dengan hak-hak mereka.

Dari sudut pandang perspektif sosial-politik, ketidakikutsertaan Muhammadiyah dalam aksi tolak dapat menjadi preseden buruk bagi organisasi lain. Jika organisasi besar tidak menunjukkan keberpihakan kepada rakyat, maka organisasi-organisasi kecil pun akan merasa bahwa mereka tidak wajib bersuara. Landasan ini bisa berujung pada budaya apatisme di kalangan masyarakat yang lebih luas.

Menghadapi realitas ini, Muhammadiyah perlu melakukan refleksi mendalam dan menjadikan pengalaman ini sebagai momentum untuk merumuskan kembali peran dan tanggung jawabnya. Hal ini bukan hanya soal memilih untuk berpartisipasi dalam aksi atau tidak, tetapi juga tentang bagaimana cara terbaik untuk mengadvokasi keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh anggota serta masyarakat luas.

Kesimpulannya, meskipun ada alasan untuk tidak terjun ke dalam aksi tolak UU Ciptaker, implikasi dari keputusan tersebut jauh lebih besar. Keterlibatan dalam aksi adalah salah satu cara bagi organisasi untuk menunjukkan komitmennya terhadap keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Ketidakikutsertaan Muhammadiyah dapat menciptakan jarak dengan rakyatnya, yang justru berpotensi menyuburkan kondisi yang lebih mudarat. Oleh karena itu, saat mempertimbangkan langkah ke depan, penting bagi Muhammadiyah untuk tak hanya menjadi penonton, tetapi juga berperan aktif dalam mendorong perubahan yang positif.

Related Post

Leave a Comment