Di tengah gejolak perekonomian yang kian menantang, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia menjadi sorotan utama. Tanpa adanya UU Cipta Kerja, yang dijadikan acuan dalam fleksibilitas pasar tenaga kerja, nasib pekerja di berbagai sektor terus terancam. Fenomena ini bukan hanya sekadar masalah angka pengangguran yang meningkat, tetapi juga menyentuh ranah sosial dan psikologis masyarakat, serta memunculkan sejumlah pertanyaan fundamental tentang ketahanan ekonomi Indonesia.
Salah satu alasan mengapa isu PHK semakin meluas adalah ketidakpastian yang melanda dunia usaha. Banyak perusahaan, terutama yang bergerak di sektor yang paling terdampak oleh pandemi, seperti pariwisata dan manufaktur, terpaksa melakukan rasionalisasi tenaga kerja untuk bertahan. Di sisi lain, pemerintah seakan absen dalam memberikan solusi yang efektif untuk mendukung pemulihan ekonomi dan melindungi pekerja. Ketika UU Cipta Kerja dihadirkan, banyak yang menyangka bahwa langkah tersebut akan membuka jalan bagi investasi yang lebih besar, namun kenyataannya, dampak positif tersebut belum sepenuhnya dirasakan.
Ketidakpastian ini memperburuk persepsi mengenai hak-hak pekerja. Banyak pekerja merasa cemas dan tidak terlindungi, sebuah situasi yang dapat mengakibatkan turunnya produktivitas di tempat kerja. Segalanya tampak berputar dalam siklus buruk: ketidakpuasan pekerja menghasilkan kinerja yang buruk, dan kinerja yang buruk membenarkan pemberhentian. Di sinilah kompleksitas hubungan antara ketenagakerjaan dan kebijakan pemerintah mulai terlihat. Jika pemerintah tidak segera menyadari dampak psikologis dari PHK, kita dapat berharap lebih banyak lagi pekerja yang terjatuh dalam jurang ketidakpastian.
Penting untuk dicatat bahwa dampak PHK tidak hanya dirasakan oleh pekerja yang kehilangan pekerjaan, tetapi juga oleh keluarga mereka. Kehilangan penghasilan berarti keluarga kehilangan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti pendidikan anak dan akses kesehatan. Fenomena ini menciptakan gelombang masalah sosial yang lebih besar, mulai dari meningkatnya angka kriminalitas hingga ketidakpuasan sosial. Isu ini semestinya menjadi fokus utama bagi pembuat kebijakan, di mana harus ada upaya konkrit untuk menciptakan ekosistem yang mendukung kerja layak dan berkelanjutan.
Di sisi lain, peran sektor swasta tidak bisa diabaikan. Banyak perusahaan yang memiliki tanggung jawab sosial untuk menjaga keberlangsungan lapangan kerja. Dalam konteks ini, diperlukan sinergi antara sektor publik dan sektor swasta dalam menciptakan lingkungan kerja yang berkelanjutan. Kebijakan insentif bagi perusahaan yang tidak melakukan PHK dapat menjadi salah satu langkah yang perlu dipertimbangkan. Perusahaan yang mampu bertahan dan memberikan jaminan kepada karyawan akan semakin meningkatkan reputasi mereka di mata publik.
Pemerintah juga perlu mengubah pendekatan terhadap pendidikan dan pelatihan tenaga kerja. Dengan meningkatnya pangsa pasar teknologi, keterampilan yang relevan menjadi sangat penting. Terdapat kesenjangan yang mencolok antara keterampilan yang dimiliki oleh pekerja dan yang dibutuhkan oleh industri. Oleh karena itu, sinergi antara dunia pendidikan dan industri menjadi krusial untuk mempersiapkan tenaga kerja yang adaptif dan siap menghadapi tantangan di era industri 4.0.
Kebijakan makroekonomi yang inklusif juga harus dipertimbangkan. Menciptakan kebijakan yang tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi tetapi juga memperhatikan kesejahteraan masyarakat menjadi hal yang diperlukan. Misalnya, investasi dalam infrastruktur sosial seperti kesehatan dan pendidikan dapat menciptakan lingkungan yang mendorong pertumbuhan yang lebih berkelanjutan. Jika kesejahteraan masyarakat diperhatikan, maka daya beli akan meningkat, yang pada gilirannya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.
Di tengah semua ini, suara pekerja harus didengar. Penguatan organisasi buruh dan dialog sosial menjadi sangat penting dalam mendorong kebijakan yang lebih adil. Pekerja memiliki hak untuk diperjuangkan dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada kehidupan mereka. Kita tidak bisa menutup mata terhadap suara mereka yang mesti menjadi bagian integral dari proses kebijakan. Inisiatif pemerintah untuk menciptakan forum-forum konsultasi dengan pekerja dapat membantu menjembatani kesenjangan tersebut.
Pada akhirnya, tantangan yang dihadapi oleh Indonesia saat ini tidak dapat dipandang sekilas. Gelombang PHK adalah indikator dari masalah yang lebih mendalam yang harus ditangani dengan bertanggung jawab. Tanpa UU Cipta Kerja yang mampu menjawab kebutuhan dan harapan pekerja serta menciptakan keberlanjutan sosial, Indonesia akan terus dibayangi oleh ketidakpastian. Dalam skenario tersebut, langkah untuk menjaga ketahanan ekonomi dan melindungi hak-hak pekerja tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah tetapi juga masyarakat luas.
Mari kita bersama-sama menjawab tantangan ini dengan berpikir kritis dan bertindak proaktif. Hanya dengan cara tersebut kita bisa berharap untuk keluar dari lingkaran setan PHK yang terus melanda negeri ini dan menciptakan masa depan yang lebih cerah dan berkelanjutan bagi semua.






