
Nalar Politik – Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia, Djayadi Hanan, menyebut tantangan yang harus dihadapi partai baru di Pemilu 2024 akan lebih sulit. Selain harus menghadapi aturan yang berat untuk lolos menjadi peserta pemilu, juga perlunya kombinasi yang cukup antara memiliki tokoh yang kuat, basis organisasi yang baik, dan logistik yang memadai.
Namun kini, seperti dipaparkan Djayadi melalui artikelnya di Kompas (30/8), muncul tantangan ketiga, yaitu kecenderungan sistem kepartaian yang mulai stabil.
“Tentu saja ini harus didahului dengan kemampuan partai baru untuk menawarkan sesuatu yang baru kepada publik, baik berupa kepemimpinan maupun narasi atau program. Dengan kata lain, sungguh berat tantangan bagi partai-partai baru untuk masuk ke lembaga legislatif, terutama di tingkat nasional,” tulisnya.
Entry Barrier dan Stabilisasi Sistem Kepartaian
Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina itu pun menguraikan lebih lanjut mengenai aturan di sistem pemilu menjadi penghalang masuk (entry barrier) yang tak mudah ditembus partai baru atau partai yang di pemilu sebelumnya tak lolos ambang batas parlemen.
“Ada sembilan tahapan yang harus dipenuhi. Beberapa yang tak mudah adalah memiliki kepengurusan (tingkat provinsi hingga kecamatan) dengan bukti kartu anggota dan memiliki kantor tetap di semua tingkatan kepengurusan sampai tahap akhir pemilu selesai. Menyiapkan semua ini tentu perlu waktu, SDM, dan dana tak sedikit.”
Menurut UU No. 17 Tahun 2017 tentang Pemilu (Pasal 173), semua persyaratan itu akan diverifikasi secara administrasi terlebih dahulu. Kalaupun lolos, selanjutnya akan melalui proses verifikasi faktual.
“Dua kegiatan ini juga (verifikasi administrasi dan faktual) akan sangat menguras waktu, tenaga, dan dana yang juga tak sedikit.”
Pengalaman menunjukkan, bahkan partai lama yang tak lolos parlemen pun beberapa kali gagal mengikuti proses tersebut. Sebut saja, misalnya, PBB dan PKPI yang mengalami kegagalan ini di Pemilu 2019, meski akhirnya lolos menjadi peserta melalui gugatan pengadilan.
“Proses hukum seperti ini, apabila dilalui juga oleh partai baru, tentu menguras waktu, tenaga, dan dana lagi.”
Pengalaman lainnya menunjukkan, sejak 2004, hanya partai yang mampu mengombinasikan tiga kekuatan, yaitu ketokohan, basis organisasi, dan logistik yang cukup yang akan mampu bertahan. Artinya, di luar perkara administrasi, setiap partai bisa disebut kuat jika memiliki ketokohan yang cukup di tingkat nasional serta kemampuan menarik tokoh-tokoh yang berpengaruh dan punya pengikut di tingkat daerah/dapil.
Tingkat pengenalan publik terhadap partai bersangkutan pun, lanjut Djayadi, harus cukup baik. Paling tidak 50 persen lebih rata-rata nasional.
“Untuk menjalankan dua hal ini, perlu logistik yang tak sedikit dan waktu yang cukup. Tahapan Pemilu 2024 akan segera dimulai sekitar Maret 2022. Partai-partai baru hanya punya waktu kurang dari satu tahun dari sekarang sebelum tahapan pemilu dimulai. Tantangan yang tidak mudah.”
Tantangan berikutnya, lanjut Djayadi kembali, adalah adanya gejala stabilisasi sistem kepartaian. Ini berarti pola kompetisi antar-partai mulai terbentuk dan pemilih mulai punya kebiasaan memilih partai-partai yang sudah dikenal dan memiliki kemampuan.
“Gejala ini, antara lain, yang menjelaskan mengapa tak ada satu pun partai baru lolos ke parlemen di Pemilu 2019. Ini membuat tantangan makin sulit.”
Gejala sistem kepartaian tersebut, menurut Djayadi, tampak tidak konsisten dengan rendahnya tingkat identitas partai (party id) pemilih. Tingkat identitas partai yang rendah bisa jadi indikasi cairnya pemilih dan bisa membuat sistem kepartaian tidak stabil.
“Ini tentu menarik bagi ilmuwan politik. Ada kemungkinan sistem kepartaian yang tak berakar, tetapi stabil (uprooted but stable party system) seperti di Chile (Luna dan Altman, 2011).”
Mengelola Peluang
Mengingat rendahnya identitas partai itu, di sanalah muncul peluang bagi partai-partai baru. Fakta bahwa masih sedikit sekali pemilih yang merasa memiliki ikatan emosional psikologis dengan satu partai mengindikasikan bahwa pemilih masih cukup terbuka untuk menerima kehadiran partai baru dalam pemilu.
“Tampaknya mereka (partai-partai baru) perlu bukan hanya merumuskan kebaruan apa yang mereka tawarkan, melainkan bagaimana mengomunikasikannya kepada pemilih. Pemilih dominan di Pemilu 2024 adalah pemilih muda, terutama generasi milenial (Y) dan pasca-milenial (Z). Generasi seperti ini lebih terbuka dengan hal baru jika dikomunikasikan sesuai karakteristiknya.”
Peluang lainnya, tambah Djayadi, adalah menarik pemilih dari partai lama yang menjadi asal partai baru. Misalnya Partai Ummat bisa saja fokus mengupayakan mengambil suara PAN. Atau Partai Gelora melakukan upaya maksimal untuk menarik pemilih PKS.
“Upaya semacam ini agak berjudi. Karena alih-alih sukses mendapat kursi DPR, ini dapat berakhir pada keduanya sama-sama tak lolos ambang batas parlemen yang besarnya 4 persen.”
- Ganjar Pranowo Unggul di Internet dan Media Sosial - 4 Maret 2023
- Orang NU Lebih Pilih Ganjar yang Nasionalis daripada Anies yang Islamis - 2 Maret 2023
- Partai dan Politisi Berebut Ingin Jadi NU - 19 Februari 2023