Telaah Konsep Manusia Sempurna menurut Ibnu Arabi

Telaah Konsep Manusia Sempurna menurut Ibnu Arabi
©Bincang Syariah

Sudah tak bisa di pungkiri bahwa pembicaraan tentang manusia menjadi objek yang selalu menarik dan tidak kunjung selesai dikaji dan dibicarakan. Kajian menyangkut tentangnya telah lahir beragam teori dan disiplin ilmu. Sekalipun demikian, anehnya, kajian tentang manusia senantiasa menjadi misteri yang tidak pernah tuntas. Salah satu aspek kajian tentang manusia yang menarik dan banyak dikaji adalah tentang pencapaian kesempurnaan dirinya.

Perdebatan dan pandangan menyangkut objek di atas sebenarnya telah muncul sejak dini, namun masih dalam bentuk yang sangat sederhana. Misalnya, kajian mendasar telah dilakukan oleh para filsuf Yunani klasik, seperti Pythagoras, Plato, hingga puncak Aristoteles. Akan tetapi, kajian-kajiannya tak kunjung usai bahkan jawaban-jawabannya masih belum memuaskan khalayak.

Karena itu, tak heran jika para filsuf modern di Barat menampilkan lagi berbagai pandangan tentang manusia. Misalnya yang dilakukan oleh Friedrich Nietzsche dengan pandangannya bahwa kesempurnaan manusia terletak pada kekuasaan dan kebebasannya. Oleh Nietzsche, manusia yang demikian disebut dengan superman atau overman. Pandangan Nietzsche ini tidak mengaitkan kesempurnaan manusia dengan Tuhan. Karena menurut keyakinannya Tuhan telah mati”.

Rupanya, paham senada kemudian dikembangkan oleh Karl Marx. Bahkan, diakibatkan beragamnya pemikiran tentang kesempurnaan dan kepuasan hidup manusia yang dinilai membingungkan, telah membuat Arthur Schopenhauer menafikkan segala fenomena duniawi. Ia berpandangan bahwa dunia ini penuh kesengsaraan dan kemalangan. Karena itu, menurutnya, manusia akan mencapai kesempurnaan ketika telah menemui kematian.

Ini tentu berbeda dengan pandangan Islam. Dalam al-Qur’an banyak ayat yang menyebutkan tentang manusia. Dalam kajian ilmu tafsir disebutkan bahwa al-Qur’an menggunakan beberapa term dalam menyebut kata manusia di antaranya; al-Insan, al-Basyar dan Bani Adam. Salah satu ayat yang sangat populer yang menyebutkan kata manusia yang berkaitan dengan kesempurnaannya adalah surah At-Tin ayat 4. Allah Swt. berfirman:

لَقَدْخَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْۤ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍ

Artinya: Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin [95]: 4).

Namun demikian, kali ini penulis akan fokus mengulas konsep manusia sempurna hingga maqam untuk mencapai kesempurnaan dalam perspektif Ibnu Arabi. Bagaimana itu? Syahdan, kita tahu Muhyiddin Ibn Arabi, lahir di Mursia, Pantai Timur Andalusia, pada tahun 560 H./1165 M., ketika usianya menginjak delapan tahun ia pidah ke Seville hingga berumur 20 tahun.

Baca juga:

Di Seville ia belajar ilmu Hadits, Fikih, ilmu Kalam dan beberapa aliran filsafat kepada para Ilmuwan Andalus seperti Abu Bakar Ibn Khalaf. Tempat-tempat yang pernah ia singgahi diantaranya adalah Cordova, Ghornathoh, Maroko, Tunis, Mesir Hijaz, Baghdad dan akhirnya ia meninggal di Damaskus pada tahun 638 H./1240 M. Dunia Sufi ia masuki setelah ia pindah ke Tunis pada tahun 1194 M.

Konsep Manusia Sempurna

Manusia sempurna menurut Ibn Arabi adalah lokus penampakan diri Tuhan yang paling sempurna. Tuhan secara sempurna tergambar pada diri manusia sempurna, karena ia telah mampu menyerap semua nama dan sifat Tuhan secara sempurna dan seimbang. Kemampuannya menyerap semua nama dan sifat Tuhan tersebut, dikarenakan manusia itu mencakup realitas alam dan totalitas alam (majmu al-alam), dan karena itu pula manusia disebut sebagai miniatur alam (mukhtashar al-alam).

Bila manusia disebutnya sebagai alam kecil atau micro cosmos, maka alam selain manusia disebutnya sebagai alam besar atau macro cosmos. Ibn Arabi membagi alam menjadi empat bagian: pertama alam al-Ala (alam baqa); kedua alam al-Istihalah (alam fana); ketiga alam al-Tamir (alam baqa’ dan fana’) dan keempat alam al-Nasab. Keempat alam tersebut terakumulasi dalam al-alam al-Akbar dan al-alam al-Shaghir.

Dalam doktrin Ibn Arabi, manusia sempurna bukan hanya sebab bagi adanya alam, tetapi juga sebagai pemelihara dan pelestari alam. Dalam hal ini manusia sempurna memiliki kedudukan sebagai khalifah. Segala sesuatu dalam alam ini tunduk kepada manusia, karena manusia merupakan perpaduan antara realitas wujud, termasuk realitas alam baik yang tinggi maupun yang rendah.

Mengenai sosok manusia sempurna partikular, Ibn Arabi mengklasifikasikan manusia itu pada dua bagian: Manusia Sempurna dan Manusia Binatang. Pembagian ini didasarkan pada tingkatan derajat manusia dalam mencapai kesempurnaan spiritualnya. Dalil naqli yang dijadikan sebagai justifikasi dari klasifikasi manusia tersebut adalah firman Allah yang menyatakan:

يٰۤاَ يُّهَا الْاِنْسَانُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيْمِ الَّذِيْ خَلَقَكَ فَسَوّٰٮكَ فَعَدَلَـكَ فِيْۤ اَيِّ صُوْرَةٍ مَّا شَآءَ رَكَّبَكَ

Artinya: Wahai manusia! Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pengasih. Yang telah menciptakanmu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang. Dalam bentuk apa saja yang dikehendaki, Dia menyusun tubuhmu. (QS. Al-Infitar [82]: 6- 8).

Pengklasifikasian tersebut juga dapat dianalogikan pada kesempatan yang lain, di mana ia membagi manusia, antara abd al-Rab (hamba Tuhan) dengan abd al-Nadzr (hamba nalar). Abd al-Rabb (hamba Tuhan) adalah manusia yang jiwa dan qalb (hati)-nya suci, bebas dari hawa nafsu dan ikatan badaniyah serta mampu menyingkap segala realitas sesuatu.

Halaman selanjutnya >>>
Salman Akif Faylasuf
Latest posts by Salman Akif Faylasuf (see all)