Di tengah badai pandemi Covid-19 yang menerpa dunia, teologi Katolik dihadapkan pada sebuah tantangan monumental. Ini bukan sekadar tentang bagaimana menjalani hari-hari nantinya, tetapi lebih kepada bagaimana gereja beradaptasi dan bertindak dalam kerangka pemikiran yang mungkin belum pernah dibahas sebelumnya. Di satu sisi, kita melihat munculnya neoliberalisme Katolik, sebuah istilah yang mungkin sedikit paradoks, sementara di sisi lainnya, terdapat harapan akan suatu masa depan gereja yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan umat.
Neoliberalisme, sebuah gagasan yang sering kali diasosiasikan dengan kapitalisme ekstrem, menunjukkan bagaimana ekonomi dan moralitas mulai bercampur, bahkan dalam ranah rohani. Dalam konteks Katolik, ada anggapan bahwa nilai-nilai pasar bisa dimasukkan ke dalam praktik-praktik gereja. Namun, di mana posisi kasih dan kebersamaan yang diajarkan Yesus? Tentu saja, penggambaran Tuhan sebagai gembala yang perduli pada setiap domba-Nya tidak didasarkan pada hitungan ekonomi.
Di masa pandemi, gereja harus mempertimbangkan kembali pendekatan ini. Ketika hadirin fisik di dalam rumah ibadah berkurang drastis, bagaimana cara menjaga kehadiran spiritual? Gereja online menjadi sorotan. Namun, tantangan tetap ada. Keterbatasan teknologi di berbagai wilayah, seperti di pedesaan Indonesia, menciptakan jurang digital yang menghalangi akses. Di sini, gereja dihadapkan pada pilihan. Apakah ia akan memupuk teologi yang mengedepankan pencarian keuangan untuk keberlangsungan? Atau justru sebaliknya, berusaha mendengarkan suara-suara yang sulit terdengar dan berharap untuk mengisi celah yang ada?
Dalam konteks ini, terbesit pertanyaan mendasar: apakah gereja dapat terus bertahan tanpa mengorbankan nilai-nilai dasarnya? Adalah agak ironis bagaimana neoliberal dapat mengubah wajah agama jika kita terus membiarkan kekuatan pasar memengaruhi keputusan-keputusan spiritual. Untuk memecahkan dilema ini, gereja perlu merumuskan kembali pandangannya terhadap kepemilikan dan kesederhanaan. Mungkin jalan terjal ini memerlukan pengembalian pada sifat asasi dari ajaran Kristus, yaitu melepaskan diri dari ikatan materi. Sebab ketika sesuatu diuji oleh api, hanya kebenaran yang tetap terjaga.
Saat mencermati bagaimana tradisi ini dapat beradaptasi dengan suasana baru, ketergantungan pada sistem-sistem yang ada merupakan dua sisi mata uang. Di satu sisi kita belajar untuk bersikap kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang tidak inklusif, di sisi lain kita perlu memberdayakan dan mengedukasi jemaat. Bagaimana teologi Katolik dapat menavigasi batasan-batasan tersebut? Di sinilah fungsinya. Melalui dialog, melibatkan suara-suara minoritas dalam pengambilan keputusan dapat membantu menyusun kembali narasi gereja yang lebih utuh.
Seiring perjalanan menuju masa depan gereja, kita mungkin menemui metamorfosis yang sangat menarik. Gagasan tentang komunitas sebagai jantung ajaran Kristiani seharusnya menggerakkan kita untuk mengedepankan empati dan pengertian. Dalam kerangka berpikir Katolik yang inklusif, kehadiran gereja seharusnya melampaui batas-batas fisik gedung peribadatan. Di tengah krisis global ini, ada peluang untuk menghadirkan gereja sebagai agen perubahan sosial.
Nampaknya, kesulitan juga dapat membuka jalan baru. Strategi gereja harus mencakup projeksi ke depan yang tidak hanya terbatas pada undangan fisik untuk menghadiri misa, tetapi juga memberikan kesempatan pada umat untuk terlibat dalam prakarsa sosial yang mendorong keadilan. Ini bisa berupa program pemberdayaan masyarakat yang menempatkan jiwa-jiwa yang terpinggirkan pada pusat perhatian.
Melihat lebih jauh, ke depan, tidak dapat dipungkiri bahwa era digital menyediakan sarana yang luar biasa bagi gereja untuk menjangkau lebih banyak jiwa. Akan tetapi, tidak boleh terlupa bahwa hubungan yang paling mendalam terjalin melalui tatap muka, dan ini merupakan esensi dari komunitas. Jadi, bagaimana cara menyeimbangkan teknologi dan tradisi di era post-pandemi? Ini adalah tantangan yang memerlukan kecerdikan dan kreativitas dari setiap pemimpin ibadah.
Pada gilirannya, ketika gereja mengembangkan progresi ini, narasi baru tentang teologi Katolik akan terbentuk. Mungkin kita akan menyaksikan lahirnya ‘Gereja Ketiga’, sebuah paradoks teologis yang mampu berdialog dengan dunia. Sebuah entitas yang mengedepankan kebersamaan dan mengesampingkan individualisme yang kerap kali hadir dalam model neoliberal.
Dengan demikian, ke depan, gereja tidak hanya akan berfungsi sebagai tempat ibadah. Melainkan, sebagai tempat berkumpul bagi komunitas, ruang dialog bagi umat, dan agen perubahan yang membawa arus keadilan. Ketika kita menatap masa depan, penting untuk mengingat bahwa tugas gereja adalah menyatukan, bukan memisahkan. Dan dalam perjalanan ini, teologi Katolik harus memenuhi panggilan untuk merangkul imajinasi kolektif umat.
Dalam era yang belum pasti ini, teologi Katolik menghadapi tantangan untuk merangkul kerumitan dan keindahan dari keragaman pengalaman yang ada. Hanya dengan cara ini, gereja akan dapat bertahan dalam ketidakpastian dan menunjukkan bahwa kasih sejati adalah sebuah jalan yang tak mengenal akhir dan tak terbatas.






