
Dalam tulisan pendek ini, saya akan berfokus pada Thomas Malthus saja; membantahnya tidak dengan data, lebih ke aspek filosofis dari argumennya.
Beberapa waktu lalu saya ditanya teman via WA soal childfree, dia minta pendapat saya. Sebenarnya malas juga bahas masalah lama beginian. Saya bukan Muhammad Amin yang betah bahas satu hal dalam waktu yang lama bahkan hingga bertahun-tahun. Tapi karena ada teman yang minta, ya gak apa-apalah saya tuliskan ulang soal childfree ini.
Sebenarnya tidak ada masalah dengan pilihan orang untuk punya anak atau tidak dalam suatu hubungan. Itu terserah mereka dalam batas wilayah kepemilikan mereka. Biarkan masing-masing pasangan saling bersepakat tanpa paksaan dari luar untuk masalah itu.
Hanya saja, yang dimasalahkan di sini anti-natalisme berkedok childfree. Loh, apa lagi istilah ini?
Begini, kalau saya sendiri memahami perbedaannya sederhana saja. Anti-natalisme menentang kelahiran dengan argumen anti-manusianya atau hidup. Anti-natalisme menganggap hidup sebagai penderitaan atau manusia sebagai hama. Itulah kenapa membawa hidup baru pada dunia ini adalah sebuah kesalahan, kesalahan pada bayi yang dilahirkan pun kesalahan pada alam ini. Konsekuensinya apa? Prokreasi ditentang.
Sedangkan childfree lebih ke preferensi personal masing-masing untuk tidak memiliki anak. Ya mungkin karena alasan ekonomi, tidak mau ribet, pilihan adopsi, atau lain sebagainya. Sebagai pilihan personal, memutuskan menjadi childfree atau tidak adalah perkara “selera” semata
Setelah clear per definisi soal childfree dan anti-natalisme, baru sekarang coba kita pilah-pilah. Yang ingin saya kritik dan serang tentu bukan childfree, tapi anti-natalisme. Karena basis dari kalangan anti-natalisme ini adalah malthusian yang sebenarnya sudah lama gagal. Soal kegagalan Malthus ini, bisa dulu dibaca tulisan lama saya di suara kebebasan berjudul “Irasional Katastropik“. Kalau mau file aslinya juga bisa kirim email ke saya biar saya kirimkan secara sukarela.
Dalam tulisan tersebut, saya juga mencoba menyuguhkan data-data sebisa mungkin untuk membantah para “katastrophos” ini termasuk anti-natalisme. Dalam tulisan pendek ini, saya akan berfokus pada Thomas Malthus saja; membantahnya tidak dengan data, lebih ke aspek filosofis dari argumennya.
Sekilas soal Thomas Malthus, intinya begini, Malthus memandang bahwa pertumbuhan populasi berbanding terbalik dengan sumber daya alam. Artinya, makin bertambah jumlah manusia, makin sumber daya alam berkurang. Alasannya? Karena manusia terus bertambah sedangkan sumber daya alam tetap, tidak mengalami pertambahan. Sampai sini mungkin mengerti, ya?
Berangkat dari kerangka berpikir semacam itu, Thomas Malthus menarik sebuah kesimpulan bahwa jika dibiarkan, maka sumber daya alam akan habis dan populasi manusia masih tetap ada. Manusia yang masih eksis ini akan saling berebut sumber daya alam yang makin lama makin menipis, peperangan akan terjadi di mana-mana, kelaparan pun akan mewabah, dan kematian massal akan terjadi. Inilah ramalan katastropik Malthus tersebut.
Lantas apa solusinya? Kata Malthus, ya sederhana, hentikan pertumbuhan populasi manusia. Kalau bisa, populasi yang sudah ada pun kurangi saja. Nah, di sinilah titik temu antara anti-natalisme dengan Malthus. Tentu tidak semua anti-natalisme berangkat dari argumen yang sama, tapi ujung pangkal Malthus dan anti-natalisme pun sama, menganggap eksistensi manusia sebagai sebuah bentuk “malapetaka”. Tidak sedikit pula kalangan anti-natalisme yang meminjam argumen Malthus.
Sekarang, mari kita bongkar argumen Thomas malthus ini.
- Asumsi bahwa sumber daya alam yang tetap.
Dari sini saja Malthus sudah keliru. Kata siapa sumber daya alam tetap? Sumber daya alam bisa diperbarui. Dengan apa? Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan bantuan iptek, sumber daya alam yang sudah ada bisa lebih cepat untuk diperbarui dan bahkan dengan iptek manusia bisa menciptakan sumber daya baru menggantikan sumber daya alam yang lama.
Misalnya apa? Nuklir untuk menggantikan fossil fuel misalnya. Terbukti, nuklir lebih ramah lingkungan, dengan sumber daya yang tak terbatas pula. Bisa dilihat dari contoh di Prancis, negara dengan 70% industrinya berbasis nuklir dan dengan peringkat polusi yang rendah (World Nuclear Association, Wikipedia, IQAir).
Masih banyak contoh lain bagaimana manusia dengan ipteknya sanggup memperbarui sumber daya alam yang sudah ada, atau menciptakan sumber daya baru untuk setidaknya jika tidak menggantikan ya menyaingi sumber daya lama.
Aspek iptek ini yang dilupakan oleh Malthus. Kalau tidak salah, ini juga kritikan JS Mill ke Malthus.
- Bencana dan wabah kelaparan Malthus hingga sekarang tidak terjadi.
Populasi umat manusia sekarang berkali lipat populasi umat manusia di era Malthus. Namun bukannya kelaparan, yang ada malah sebaliknya, dunia modern bisa melipatgandakan jumlah makanan dibanding era sebelumnya. Hal ini yang membuat penyakit baru bermunculan seperti obesitas misalnya. Bukannya manusia mati karena kelaparan, malah mati akibat kebanyakan makan. Hal yang juga dicatat oleh Yuval Noah Harari dalam Sapiens dan Homo Deus, bagaimana faktor kematian akibat gula lebih tinggi dibanding akibat perang dan kelaparan.
“Ya, mungkin ramalan Malthus gagal sekarang, tapi itu kan cuma tarik ulur, bisa saja terjadi di masa depan.” Kalau cuma bisa saja, semua hal ya bisa saja terjadi. Ini bukan argumen yang kuat. Jangan lupakan taruhan Julian Simon dan Paul Enrich juga dalam hal ini.
- Bagaimana mengukur overpopulasi?
Dari dulu saya selalu bertanya-tanya, apa sebenarnya overpopulasi itu? Perhitungan macam apa yang dilakukan sehingga bisa disimpulkan dunia sekarang sudah overpopulasi? Variabel-variabel apa saja yang dilibatkan dalam perhitungan overpopulasi ini?
Apakah overpopulasi ini hanya didasarkan pada pengamatan subjektif yang sangat bias heuristik semata? Atau jangan-jangan sebenarnya konotasi overpolulasi ini tidak ada bedanya dengan overcrowding?
Nah, mungkin tiga poin itu cukup mewakililah untuk kritikan saya kepada Thomas Malthus. Lain kali akan saya tulis soal anti-natalisme dengan argumen penderitaan.
- Argumen Evolusi Menentang Naturalisme - 16 November 2021
- Pembuktian Zombie dan Serangan Lanjutan pada Materialisme - 15 Oktober 2021
- Populisme Keagamaan - 3 Oktober 2021