Tugas Individu dalam Konteks Agama dan Negara

Tugas Individu dalam Konteks Agama dan Negara
©ImgRst

Merawat keyakinan dan melestarikan kemanusiaan etis dalam tugas individu dalam konteks agama dan negara.

Seandainya pada saat Habil dan Qabil berebut pasangan dan salah satunya terbunuh, ada yang bertanya pada Adam, “Apa agamamu?”, maka “mungkin” dia akan menjawab, “Agamaku adalah perdamaian.”

Dari keturunan mereka, perebutan kekuasaan terjadi. Semakin banyak keturunannya, semakin banyak pula kebutuhan mereka.

Agar kebutuhan tersebut dapat terpenuhi secara merata dan adil, maka perlu seorang pemimpin, yang kepadanya semua orang takluk. Inilah kenapa kemudian Tuhan mengenalkan nabi-nabi sebagai pemimpin di antara kerumunan manusia bebas yang dalam bahasa para pemikir hukum alam kita sebut sebagai keadaan manusia in abstrakto.

Perkembangan tersebut seiring dengan karunia akal. Manusia terus berbenah sembari mempertahankan kekuasaan. Bukan hanya kekuasaan (kekuatan) fisik saja, tapi juga kekuasaan ekonomi dan wilayah teritorial. Tak heran bila timbulnya negara ada yang berdasarkan pada teori kekuatan, baik patriarki maupun matriarkal.

Konon, menurut Stahl, negara lahir semula dari keluarga. Kemudian terus berkembang, lalu bersepakat sebagai sebangsa, bernegara.

Pada awalnya, kekuasaan itu berada di tangan perempuan: seorang ibu terhadap anaknya. Konsep kekuasaan ini lahir sebelum kita kenal lembaga perkawinan.

Setelah mengenal lembaga perkawinan, di mana laki-laki dan perempuan melakukan perkawinan dan merawat anak bersama-sama, kekuasaan tersebut beralih pada si “ayah”. Si ayah kemudian menjadi seorang yang paling kuat di dalam keluarga itu.

Nabi-nabi pun tamat dan kita yakini selesai pada Muhammad SAW. Pemikiran soal negara dan warga negara terus berkembang pesat seiring dengan kebutuhan manusia terhadap rasa aman.

Baca juga:

Atas kebutuhan terhadap rasa aman tersebut, menurut Hobbes, manusia alamiah bersepakat untuk membentuk suatu kekuasaan yang dapat mencegah terjadinya konflik, saling memangsa antara yang satu dengan yang lain. Karenanya, semua orang harus menyerahkan haknya kepada penguasa (raja); dan raja adalah wakil Tuhan di bumi; karenanya setiap orang wajib tunduk pada kekuasaannya yang absolut.

Lain hal dengan Grotius, negara menurutnya lahir dari kesepakatan. Tetapi bukan dari susunan manusia (yang) antisosial sebagaimana pemikiran Hobbes, melainkan kesepakatan antarmasyarakat yang dasarnya sudah berkelompok lalu di antara kelompok itu bersepakat.

Grotius meyakini bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri, karenanya secara alamiah manusia sudah berkelompok. Menurutnya, kecenderungan manusia adalah bersosial, sebagaimana “zoon politicon“-nya Aristoteles.

Manusia, kata Grotius, melalui akal murninya, dapat bersepakat tanpa menggantungkan pikirannya pada hal-hal atau kekuasaan gaib. Karenanya, kekuasaan raja tidak mutlak, tidak absolut, dan tidak tak terbatas.

Kekuasaan tersebut tetap terbatas. Karena dengan akalnya, manusia dapat mencabut kesepakatan tersebut, atau tidak menaati ketentuan raja apabila ketentuan tersebut tidak masuk akal.

Pemikiran mutakhir soal negara adalah konsep negara kesejahteraan. Konsep ini lahir setelah runtuhnya dominasi agama (Greja) dan gagalnya konsep negara yang hanya menjaga keamanan (beberapa orang menyebut seperti “anjing penjaga malam”) yang absen di wilayah penyejahteraan warganya. Di sinilah negara mengambil alih sebagian tugas agama, yakni perdamaian.

Agama, dalam konteks manusia bernegara, menjadi “meniada”. Bukan hilang, tetapi “meniada”. Karena otoritasnya beralih pada negara. Oleh sebab itu, campur tangan agama pada tataran “perdamaian dan kesejahteraan” tidak lagi memiliki legitimasi. Legitimasi dan legalitas tersebut telah beralih pada negara.

Meski demikian, menurut Kant, ada yang tidak dapat terjangkau oleh negara, yakni kepercayaan (terhadap Tuhan). Kant menyebutnya sebagai yang metafisis dari negara dan hukum. Oleh karena itu, satu-satunya yang tidak dapat tergantikan oleh negara adalah yang metafisis tersebut.

Baca juga:

Negara yang telah mengambil alih peran agama dalam mengurus manusia tidak boleh membatasi kepercayaan warga negaranya. Sebaliknya, warga negara tidak boleh mengurus urusan yang telah kita serahkan pada negara. Apa yang tidak dapat terjangkau oleh negara, secara mutatis mutandis, juga tidak boleh (dapat) terjangkau oleh orang lain kecuali individu itu sendiri.

Pendeknya, orang lain tidak dapat lagi bersesumbar atas nama agama dalam hal tugas-tugas agama yang telah diambil alih oleh negara. Hal-hal yang tidak dapat negara gantikan (yang metafisis) merupakan wilayah mutlak “individu” yang tidak bisa diintervensi orang lain.

Oleh karena itu, tugas individu satu-satunya dalam konteks beragama adalah merawat keyakinan masing-masing. Sementara tugas individu dalam konteks bernegara adalah menaati negara; yang bertujuan untuk pelestarian kemanusiaan etis.

Arief Rahman
Latest posts by Arief Rahman (see all)