Ulumanda, sebuah istilah yang mungkin akrab di telinga masyarakat Sulawesi Barat, sering kali diasosiasikan dengan narasi manis yang menyelimuti tonggak-tonggak pembangunan dan kemajuan daerah. Namun, di balik pesona narasi tersebut, terdapat kerumitan yang perlu diurai. Apakah Ulumanda benar-benar bagian dari kisah manis Sulbar Malaqbiq, ataukah justru di luar bingkai narasi yang sering kali disajikan? Dalam analisis ini, kita akan menjelajahi dimensi-dimensi yang kurang terlihat dari Ulumanda dan bagaimana hal itu mencerminkan dinamika sosial dan politik di Sulbar.
Secara etimologis, Ulumanda diambil dari makna lokal yang merepresentasikan kearifan dan tradisi. Namun, di tengah pesatnya arus modernisasi, porsi dari kearifan lokal sering kali tersisih dan terganti dengan narasi pembangunan yang manis. Ini menciptakan kesan seolah Ulumanda dan nilai-nilai yang diusungnya tidak relevan lagi dengan konteks kekinian. Namun, kita seharusnya tidak mengesampingkan kontribusi signifikan dari Ulumanda dalam pembentukan identitas sosial masyarakat Sulbar.
Satu hal yang bisa dicermati adalah bagaimana Ulumanda berperan sebagai saluran untuk menggelorakan semangat gotong royong di tengah masyarakat. Dalam praktiknya, Ulumanda sering melibatkan berbagai unsur, baik dari kalangan pemuda, tokoh adat, hingga pemerintah daerah. Kebersamaan ini menjadi esensi dari pergerakan sosial yang melawan pengabaian terhadap nilai-nilai lokal. Meskipun narasi manis tentang pembangunan menganggap solusinya bersifat instan, justru Ulumanda membuktikan bahwa proses panjang yang mencakup partisipasi masyarakat jauh lebih berharga.
Bila kita menelusuri lebih dalam, Ulumanda juga menjadi cermin dari kompleksitas isu-isu sosial yang dihadapi masyarakat Sulbar. Di balik aktivitas-aktivitas yang terlihat sepele, tersimpan tantangan yang lebih besar, seperti kesenjangan ekonomi, minimnya akses pendidikan, dan masalah kesehatan. Dengan demikian, Ulumanda tidak hanya berfungsi sebagai simbol perlawanan, tetapi juga sebagai pengingat bahwa masih banyak yang perlu dilakukan untuk mencapai kesejahteraan senyatanya.
Di satu sisi, narasi manis yang dibawa oleh sejumlah pihak, baik pemerintah maupun kelompok swasta, kadang menimbulkan kesan semu. Ketika statistik menunjukkan angka pertumbuhan, di sisi lain, terdapat kelompok-kelompok yang tersisih dari arus pembangunan. Dalam konteks ini, Ulumanda tidak hanya berfungsi sebagai penanggulangan isu-isu sosial, tetapi juga sebagai platform untuk membuka dialog tentang keadilan dan keberlanjutan.
Selain itu, faktor sejarah tidak boleh diabaikan. Ulumanda lahir dari akar tradisi yang telah lama mengakar di tengah masyarakat. Sebagai bagian dari sejarah kolektif, Ulumanda membawa serta nilai-nilai budaya yang melekat pada identitas masyarakat. Dalam hal ini, dampak dari modernisasi terhadap budaya lokal menjadi perhatian penting. Mengakui bahwa modernitas bukanlah ancaman, tetapi sebuah peluang untuk berpadu dengan kearifan lokal, adalah langkah yang perlu diambil.
Fascinasi terhadap Ulumanda tidak lepas dari daya tarik narasi yang berputar di sekitarnya. Banyak orang beranggap bahwa Ulumanda adalah simbol ketahanan dan optimisme meskipun dihadapkan pada tantangan berat. Ketika masyarakat menemukan kekuatan dalam kebersamaan, hal ini menggelorakan rasa solidaritas yang menjadi napas kehidupan sosial. Masyarakat Sulbar pun seharusnya berbangga hati atas warisan yang ditinggalkan oleh nenek moyang mereka.
Namun, narasi semacam itu sering kali diwarnai oleh anekdot-anekdot positif saja. Adalah penting untuk memberikan ruang bagi kritik konstruktif dalam mengkaji efektivitas Ulumanda. Apakah tujuan awal yang diusung selama ini tercapai? Atau justru menciptakan ekspektasi palsu yang hanya mempertegas kesenjangan? Keterlibatan masyarakat dalam mengawasi dan mengevaluasi keberhasilan Ulumanda menjadi langkah yang krusial.
Langkah menuju perbaikan harus dilandasi oleh kesadaran kolektif akan pentingnya Ulumanda sebagai bagian dari identitas lokal. Dalam membangun narasi yang lebih otentik, partisipasi masyarakat harus mendapatkan perhatian yang setara. Ini adalah tantangan sekaligus peluang bagi generasi mendatang untuk merawat medialokalitas yang lebih harmonis, tanpa mengorbankan semuanya di altar kemajuan yang instan.
Dengan demikian, penting sekali untuk tidak menjadikan Ulumanda sebagai sekadar pelengkap narasi manis Sulbar Malaqbiq. Ia adalah bagian integral dari perjalanan panjang masyarakat, bermakna dalam mengadaptasi dan menghadapi perubahan zaman. Masyarakat Sulbar patut mencintai dan melestarikan Ulumanda, tidak hanya sebagai simbol tradisi, tetapi juga sebagai daya ungkit untuk menghasilkan perubahan positif yang berkelanjutan. Bukan lagi sekadar angan-angan manis, tetapi menjadi realitas yang bisa dirasakan oleh setiap individu.






