
kadang di bilik sunyiku kau datang malam-malam membawa
puisi yang selesai kau tulis agar aku bisa membaca dan
(berusaha) untuk memahaminya lalu kita dengan kejam membunuh
sepi dengan percakapan yang tajam berjam-jam lamanya
kau akan melahirkan puisi bila napasmu mengisap cerutu hingga pupus
dan kau akan terbatuk-batuk, maka dalam batukmu puisi berteriak sebelum kau tangkap
dan menidurkanya di sepucuk kertas
puisimu dan sebatang cerutu adalah ketika malam memeluk
semua angan dan menjadikamu ketika yang tidak biasa
kau ingin menjadi penyair yang menulis puisi sambil menghabiskan
asap malam dengan beberapa kali hembusan napas sebelum akhirnya
kata-katamu menjadi pisau yang siap menghunus urat nadi sepi
hingga sekarat
Seandainya
seandainya aku menyelinap dalam mimpi indahmu
lalu merawat mawar yang tumbuh di bibirmu
maukah kau mendesak waktu?
: saya mengaku
Puisi dan Secangkir Kopi
tengah malam dengan napas patah-patah
puisi mampir di bilik sempitku
“selamat malam puisi, kamu keihatan begitu murung malam ini?”
tanpa membalas tanyaku yang masih menggantung di langit-langit kamar
puisi malah rebah di atas buku catatan kenangan
aku bingung dan berusaha membangunkannya
tetapi dengan mata yang nyalang ia berseru lirih:
“Er, berikan aku kopi dari cangkirmu itu!”
- Stephanie dan Kopi Kenang-Kenang - 27 Februari 2020
- Buku Harian - 15 Desember 2019
- Mawarani - 5 Oktober 2019